Aluk
Rambu Solo' dari Toraja
Toraja
adalah sebuah suku dengan populasi mencapai 1 juta jiwa yang menetap di
pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Tahukah kamu, ada sebuah
upacara pemakaman adat dan pemujaan yang menjadi tradisi orang-orang serumpun
Melayu di sana? Kalau belum tahu, yuk duduk manis dan simak artikel berikut
ini!
1.
Asal-usul
Aluk rambu solo’ adalah salah satu dari sekian banyak tradisi
yang sakral dan unik dari Toraja. Walaupun tradisi ini membutuhkan biaya yang
tidak sed.ikit namun upacara ini masih tetap lestari hingga sekarang (Tino
Saroenggalo, 2008).
Aluk rambu solo’ terbangun dari tiga kata, yaitu aluk
(keyakinan), rambu (asap/sinar), dan solo’ (turun). Dengan begitu, aluk rambu
solo’ artinya upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai turun
(terbenam). Sebutan lain untuk upacara ini adalah aluk rampe matampu’. Aluk
artinya keyakinan atau aturan, rampe artinya sebelah atau bagian, dan matampu’
artinya barat. Jadi, makna aluk rampe matampu ’adalah upacara yang dilaksanakan
di sebelah barat dari rumah atau tongkonan (L.T. Tangdilintin, 1975; K. Kadang,
1960).
Tujuan dari upacara dan pemujaan ini yaitu untuk menghormati dan
mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, bersama
para leluhur mereka yang bertempat di puya. Orang-orang Toraja melakukan
upacara ini sebagai penyempurnaan, karena orang baru dianggap benar-benar wafat
setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika upacara ini tidak dilakukan
maka orang yang wafat itu hanya dianggap sakit atau lemah, sehinggga mereka
diperlakukan seperti masih hidup seperti diberi makan, minum, bahkan diajak
berbicara.
Aluk
rambu solo’ juga adalah warisan ajaran leluhur Toraja. Upacara ini
dilaksanakan berdasarkan keyakinan leluhur yang disebut aluk todolo,
berarti kepercayaan atau pemujaan terhadap roh leluhur. Di dalam aluk todolo
terdapat aluk pitung sabu pitu ratu pitungpulo atau 777 aturan, salah satunya
yang berhubungan dengan pemujaan roh leluhur pada saat kematian (Sitonda,
2007). Berdasarkan status sosial orang atau tingkat ekonomi keluarga yang
diupacarakan, aluk rambu solo’ dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
1. Silli’,
untuk kasta terendah (kua-kua/budak). Dalam kasta ini tidak ada pemotongan
hewan untuk persembahan tetapi mereka melakukan persembahan seperti dedekan
(upacara pemakaman dengan memukulkan wadah tempat makan babi) dan pasilamun
tallo manuk (pemakaman bersama telur ayam).
2. Pasangbongi,
upacara yang dilakukan hanya satu malam. Yang termasuk jenis ini antara lain
bai a’pa’ (persembahan empat ekor babi), si tedong tungga (persembahan satu
ekor babi), di isi (pemakaman untuk anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi
dengan persembahan seekor babi), dan ma’ tangke patomali (persembahan dua ekor
babi).
3. Di
batang atau di doya tedong. Untuk kasta bangsawan menengah (tana’basi) dan
bangsawan tinggi (tana’bulan). Mereka mempersembahkan kerbau, babi dan ayam.
Upacara dilakukan selama 3-7 hari berturut-turut. Pada akhir acara, dibuatkan
sebuah simbuang (menhir) sebagai monumen untuk menghormati orang yang wafat.
4. Rapasan,
khusus untuk golongan bangsawan tinggi (tana’bulan) dan dilakukan selama 3 hari
3 malam. Termasuk upacara jenis ini, antara lain rapasan diongan (rapasan
tingkat rendah hanya memenuhi syarat minimal persembahan 9-12 kerbau), rapasan
sundun (rapasan lengkap persembahan 24 ekor kerbau dan babi tak terbatas), dan
rapasan sapu randanan (rapasan simbolik dengan persembahan yang diandaikan 30
ekor kerbau) (Sitonda, 2007).
Sekarang
ini aluk rambu solo’ mengalami perubahan yang signifikan, khusunya di
persembahan. Salah satu faktornya adalah faktor ekonomi Karena hewan
persembahan tidak murah terlebih membelinya lebih dari satu. Misalnya, jenis
kerbau yang digunakan bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga)
yang harganya antara 10–50 juta/ekor (Saroenggalo, 2008).
2.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Upacara
pemujaan ini dilakukan sesuai kesiapan ekonomi keluarga Karena membutuhkan dana
yang banyak. Biasanya kaum bangsawan akan langsung menggelarnya ketika ada
keluarga mereka yang meninggal. Tapi bagi kaum basa harus menunggu hingga punya
cukup dana. Pelaksanaan upacara dilakukan di dua tempat yaitu di rumah duka dan
di lapangan (rante).
3.
Peserta dan Pemimpin Upacara
Peserta
upacara aluk rambu solo’ adalah seluruh keluarga orang yang wafat dan
segenap warga masyarakat. Pelaksanaan upacara ini dipimpin oleh beberapa orang
khusus yang terdiri dari:
•To
mebalun atau to ma’kayo, untuk memimpin dan membina upacara pemakaman.
•To
ma’pemali, untuk melayani, merawat, dan memelihara jenazah selama
upacara berlangsung.
•To
ma’kuasa, untuk membantu secara umum pelaksanaan pemakaman.
•To
ma’sanduk dalle, perempuan yang khusus menyiapkan nasi bagi jenazah yang
akan dimakamkan.
•To
dibulle tangnga, perempuan yang bertugas sebagai
penghubung antarpetugas upacara yang lain, khususnya yang berkaitan dengan
sesaji.
•To
sipalakuan, orang yang bertugas memenuhi semua kebutuhan perawatan
jenazah dan upacara.
•To
ma’toe bia’, seorang laki-laki yang bertugas menyalakan api dan memegang
obor selama upacara berlangsung.
•To
masso’ boi rante, perempuan yang bertugas membuka jalan ke rumah duka atau
lapangan tempat upacara.
•To
mangengnge baka tau-tau, seseorang yang khusus membawa tempat pakaian dari
patung.
4. Peralatan dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara aluk
rambu solo’ antara lain:
- Tombi saratu, kain
panjang seperti umbul-umbul.
- Tuang-tuang atau tanda upacara.
- Gendang.
- Maa’, kain
berukir sebagai tanda kemuliaan.
- Sesaji.
- Gong atau bombongan
5. Proses Pelaksanaan
Di
suatu pagi, orang-orang terlihat sangat sibuk! Hmm, sibuk apa ya mereka?
Proses
pelaksanaan upacara Aluk Rambu Solo' ini tidak cukup dilakukan hanya satu hari,
loh! Selama 4 hari, orang-orang Toraja serumpun Melayu melaksanakan 3 tahap
dalam upacara ini. Apa saja ya, tahap-tahapnya?
a.
Persiapan
-
Sanak keluarga orang yang wafat, baik dari pihak ibu maupun bapak, berkumpul
dengan tujuan membicarakan ahli waris, tingkat upacara yang akan dilakukan,
tempat pelaksanaan upacara, dan hal lain yang perlu dibicarakan antarkeluarga.
-
Pondok-pondok didirikan di halaman rumah orang yang wafat dan di lapangan
upacara. Pondok-pondok itu selain nantinya digunakan untuk upacara juga sebagai
tempat menginap para tamu yang hadir dalam upacara tersebut. Pembangunan pondok
sesuai dengan kasta orang yang wafat.
-
Tidak lupa peralatan upacara seperti peralatan makan, tidur, dan lain-lain.
Sesaji pun selalu disiapkan dan tidak boleh ketinggalan
b.
Pelaksanaan
-
Aluk Pia atau Aluk Banua
Upacara
tahap ini dilakukan 4 hari berturut-turut di halaman rumah dan jenazah tetap di
rumah duka. Hewan seperti kerbau dan babi menjadi persembahan sesaji. di hari
pertama dengan iringan ma'badong atau nyanyian semalam suntuk. Pada hari kedua,
dengan tetap melantunkan ma'badong, keluarga menerima tamu baik itu masyarakat
maupun kerabat. Para tamu membawa sumbangan berupa uang atau hewan yang
menandakan bahwa jika suatu saat sang penyumbang melaksanakan upacara, maka
yang menerima sumbangan harus mengembalikannya, meskipun tidak dianggap sebagai
utang. Banyaknya orang yang datang, mereka akan saling mengenalkan satu sama
lain dan akhirnya mereka tahu jalinan kekerabatan mereka. Hari ketiga, ritual
diawali dengan ma'bolong yaitu penyembelihan babi di pagi hari oleh to mebalun.
Semua orang berpakaian hitam sebagai simbol berkabung. Setelah itu,
penyembelihan kerbau di lapangan atau yang disebut ma'batang dilakukan dan
setelahnya dibacakan mantra pujian pada leluhur dari atas bala 'kayan atau
menara daging. Di hari keempat, ritual dilaksanakan dengan memasukkan jenazah
ke dalam sebuah peti kayu yang sudah mati atau kayu mate, sebagai simbol bahwa
jenazah telah benar-benar mati.
-
Aluk Palao atau Aluk Rante
Pada
tahap ini, terdapat 4 prosesi. Pertama yaitu ma' palao, ketika jenazah sampai
ke lapangan setelah dibawa dari lumbung dengan iringan arak-arakan, kerbau
dipotong dengan cara menebas langsung lehernya diiringi syair-syair kedukaan
yang diucapkan dalam bahasa Toraja kemudian dagingnya dibagikan kepada yang
hadir pada prosesi itu. Kedua, allo katongkkonan yaitu pencatatan sumbangan yang
diberikan tamu oleh keluarga. Ketiga, allo katorroan yaitu keluarga dan petugas
upacara berkumpul untuk membicarakan acara puncak pesta pemakaman dan
menyepakati berapa kerbau yang akan dipotong lagi. Selanjutnya, mantaa padang
yaitu Pembagian daging kerbau yang sudah disembelih kepada keluarga dan kerabat
sesuai adat. Kadangkala, kerbau yang dibiarkan hidup disumbangkan kepada
masyarakat.
c.
Penutup
Ketika
jenazah telah dimakamkan, maka upacara dinyatakan berakhir. Saat ini, upacara
Aluk Rambu Solo sudah mengalami banyak perubahan, salah satunya dengan
digelarnya upacara dengan durasi 12 hari dengan urutan prosesi MMa’pasuluk (pertemuan
keluarga), mangriu’ batu (menarik batu simbuang), ma’
pasa tedong (menghitung ulang hewan korban), ma’ pengkalao (memindahkan
jenazah ke tongkonan), mangisi lantang (mengisi
pondok), ma’ pasonglo (memindahkan jenazah dari lumbung), allo
katongkonan (keluarga menerima tamu), allo katorroan (istirahat), mantaa
padang (memotong hewan korban), dan me aa (pemakaman
jenazah).
6. Doa-doa
Dalam upacara ini, terdapat doa-doa yang dilantunkan
yaitu: Doa permohonan perlindungan.,Doa pengagungan kepada leluhur.,Doa kepada orang yang wafat agar arwahnya diterima.
7. Pantangan dan Larangan
Agar upacara hikmat dan berjalan lancar sesuai rencana,
maka selama upacara berlangsung, seluruh peserta upacara dilarang membuat gaduh
saat mantra dibacakan, dan keluarga tidak boleh membatalkan sesaji yang telah
disepakati sebelumnya.
8.
Nilai-nilai
Bagi
orang Toraja dalam kehidupannya, upacara ini memiliki nilai-nilai tertentu. Apa
sajakah nilai-nilai itu?
- Pertama, untuk menghormati leluhur.
Orang Toraja percaya, bahwa leluhur memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan
mereka. Karena itu, leluhur harus dihormati, salah satunya dengan menggelar upacara aluk
rambu solo’ ini.
- Kedua, upacara ini memiliki nilai
kekerabatan. Nilai ini tercermin dari ungkapan simpati kerabat yang datang
dengan membawa beragam bantuan. Hal ini tentu saja kian menguatkan
kekerabatan mereka.
- Ketiga, melalu upacara ini,
masyarakat Toraja melakukan pelestarian tradisi aluk rambu solo’ yang
merupakan warisan leluhur mereka.
- Keempat, untuk menjaga semangat
kesatuan suku karena dengan melaksanakan upacara ini, hubungan
antarmasyrakat Toraja menjadi semakin erat.
- Terakhir yaitu nilai sakralitas atau
spiritualitas yang tercermin dari pelaksanaan aluk rambu solo’ yang kental
dengan nuansa sakral karena mereka meyakini kehadiran arwah leluhur selama
upacara berlangsung.
Sebuah bukti penghormatan oleh orang-orang serumpun Melayu di Toraja kepada leluhur dicerminkan dari upacara adat aluk rambu solo’ ini. Selain itu, upacara ini memiliki nilai-nilai bagi kehidupan masyarakat Toraja diantaranya sebagai upaya pelestarian budaya serta perekat yang kuat dengan sesama suku Toraja.
Sekian
ya pembahasan tentang Aru rambu solo' dari Toraja, next time akan membahas
tentang hal yang gak kalah pentingnya. terimakasih, sampai jumpa. J
ARTIKEL
INI DISUSUN OLEH :
·
AKBAR NUGROHO (10516459)
·
DESTA ALFIANI RAHAYU (11516849)
·
FERONIKA DEVI (12516801)
·
GIOVINA FAJAR SEJATI (13516059)
·
JESSKA AMADHEA (13516713)
·
OLIVIA HERLIE (15516683)
Refrensi:
http://www.mediaone.id/2016/03/asal-usul-dan-arti-aluk-rambu-solo_19.html
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2718/aluk-rambu-solo-upacara-pemakaman-adat-melayu-toraja-sulawesi-selatan
https://www.google.co.id/search?q=masyarakat+toraja
http://jayaditadungallo.blogspot.co.id/2010/10/suku-toraja.html
Komentar
Posting Komentar